Kesetaraan Gender di Industri Film & Perempuan di Direksi BUMN: Erick Thohir hingga Mira Lesmana Berkisah di IMS 2020

Belakangan ini, isu gender kembali jadi topik menarik. Apalagi dengan prediksi bahwa Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi pada tahun 2045, yang mengharuskan masyarakat lintas gender mengambil posisi peran agar nggak jadi beban demografis.

Meski sistem patriarki masih kental, perempuan bukan berarti nggak kebagian tempat. Pelbagai posisi penting di beragam sektor yang dulu identik dengan laki-laki sudah umum dijabat oleh perempuan. Mulai dari CEO, jajaran direksi, hingga sineas.

Perempuan dan milenial sudah harus mengisi posisi penting dalam pertumbuhan bangsa

Founder IDN Media, Winston Utomo, dalam pembukaan Indonesia Millennial Summit (IMS) 2020 di The Tribrata Jakarta, Jumat (17/1/2019), mengatakan potensi generasi muda baik laki-laki atau perempuan harus dimaksimalkan peranannya. Hal ini karena waktu yang dimiliki Indonesia untuk meraih puncak demografis tinggal sedikit.

“Waktu kita sudah tidak banyak untuk menjadi negara maju dengan memanfaatkan bonus demografis. Generasi muda harus memainkan peranan dengan baik dan sungguh-sungguh. Indonesia akan lebih baik jika generasi muda tidak diam,” ucap Winston.

Sementara itu Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan keinginannya agar 15% kursi direksi BUMN diisi oleh perempuan. Ia bahkan mengharapkan setidaknya 5-10% kursi diisi oleh generasi millennial. Erick menimbang potensi yang dimiliki generasi milenial harusnya bisa dimanfaatkan untuk mengisi sektor penting bangsa.

“Jumlah perempuan di direksi BUMN bisa 15%. Standar asset negara. Di dunia sudah 30%. Kalau bisa 10% kursi direksi BUMN diisi oleh ada milenial,” ujar Erick dalam sesi The Strategic Plan for 2020-2024 IMS 2020/

Beda haluan dengan Erick Thohir di BUMN, sektor industri kreatif juga dapat porsi penting dalam pertumbuhan Indonesia

Seperti contoh perfilman Indonesia, yang belakangan mampu menarik atensi masyarakat untuk nggak melulu nonton film Hollywood. Mira Lesmana, produser sekaligus tokoh sineas yang menghidupkan kembali gairah perfilman Indonesia pasca mati suri, mengatakan salah satu persoalan pelik dunia sinema adalah dominasi laki-laki dalam produksi film. Meski begitu, ia mengatakan sineas perempuan lah yang berhasil ‘menghidupkan kembali’ perfilman Indonesia di awal era 2000-an. Salah satu tonggak kebangkitan itu adalah film ‘Petualangan Sherina’.

“Sejak awal kelahiran film Indonesia produksinya memang digarap oleh laki-laki. Tapi pasca mati surinya perfilman Indonesia di era 90-an, para sineas perempuan lah yang mendorong pergerakkan film Indonesia di awal tahun 2000. Ada saya di situ, ada Christine Hakim, ada Nia Dinata,” jelas Mira dalam sesi ‘Screen Queen: Providing Women’s Rights in Indonesia’s Movie Industry’ IMS 2020.

Mira menambahkan kecenderungan dominasi laki-laki dalam sebuah produksi film disebabkan pula oleh pola didik konservatif orang tua jaman dulu yang melarang anak perempuan terlibat di balik layar. Karena itu, perempuan pada akhirnya jadi sebatas objek di dalam sebuah film.

“Dulu kebanyakan film memposisikan perempuan hanya jadi objek. Hanya sedikit yang punya cerita-cerita khusus. Namun pasca 90-an banyak perempuan yang muncul sebagai sineas dan menjadikan perempuan pula sebagai tokoh sentralnya. Seperti contoh Petualangan Sherina dan Ada Apa Dengan Cinta dengan tokoh Cinta,” imbuh Mira.

Kehadiran sineas perempuan penting agar mencapai gender balance dalam sebuah karya

Peraih Piala Citra untuk Penulis Skenario Terbaik, Gina S. Noer, mengatakan meski sudah banyak laki-laki yang membuat film dengan perempuan sebagai tokoh sentral, ia merasa masih ada yang belum punya kepekaan terhadap gender. Maka dari itu, baginya perempuan adalah sosok yang tepat untuk mengambarkan kembali keperempuanannya melalui film.

“Dalam membangun karier (sebagai sineas) kadang saya terjebak juga saat meyakini bahwa film yang saya buat bisa mewakili perempuan. Tapi ketika produser tidak mempunyai sensitivitas gender, malah saya yang menangis,” ucap Gina.

Untuk bisa mendorong lebih banyak perempuan aktif di dunia perfilman, Mira mengatakan hal pertama yang harus diyakini adalah kesetaraan gender itu nyata. Dengan melakukan itu, ia yakin potensi baik dalam diri akan keluar.

“Saya akan khawatir saat bikin film kalau nggak ada gender balance. Hal ini menurutku sangat penting. Menurut saya ada banyak kelebihan perempuan, dan kalian sangat dibutuhkan di dunia perfilman. Jangan sampai film didominasi lelaki. Karena dampaknya bukan hanya saat produksi, tapi dalam hasil lebih luas,” jelasnya.

Sementara itu, Gina menyampaikan produksi film sebagai kerja kolektif bisa dimanfaatkan untuk menggaet lebih banyak sineas atau kru perempuan. Ia menghimbau untuk para sineas baru khususnya perempuan, bisa menggaet lebih banyak teman perempuan untuk terlibat. Hal ini untuk menghadirkan kesetaraan baik dalam produksi maupun hasil akhir.

“Film adalah proses kolektif, coba bagi filmaker baru untuk menggaet lebih banyak teman perempuan mengerahkan kemampuannya. Saya berharap industri film kita bisa membuka ruang diskusi yang lebih luas dengan berbagai isu. Seperti isu perempuan yang hari ini mesti dipantik pembicaraannya karena kita berada di tengah kebudayaan serba tabu,” tutup Gina.

Melihat kompleksitas bangsa dalam usaha menuju negara maju, artinya mengharuskan kita lebih fleksibel terhadap perbedaan. Entah itu keyakinan, ras, atau gender. Dengan ini cita-cita bersama agaknya lebih cerah untuk digapai.


Komentar